“jika badan ini tegak memandang langit bagaikan musuh besar bertatap
lama penuh emosi, maka jadikanlah ini lukisan hitam tanpa cahaya dengan bingkai
gelap yang dilahap kasar dinding masa lalu, karna hidupku adalah mimpi dan
jiwaku adalah dia yang begitu nyata dalam gelap dunia tanpa mentari”
Hari
itu cerah, matahari tidak terlalu sering membakar bumi dengan panas yang
membara, hanya sedikit awan yang memberikan setumpuk perlindungan dan bayangan
pepohonan hijau yang mempermanis wajah kota yang seperti biasa memang penuh
dengan teriakan dan keputusasaan dan derita yang berselimut tanya akan masa
depan dan kota yang menghitam di setiap sudut mata memandang dan kejahatan
selalu ada bahkan saat malam menerjang, dia selalu ada tersenyum dalam
ketidakadilan dunia, ketidakakdilan manusia-manusia masa kini. Aku, … siapa
aku? Tak ada yang tahu dan mau peduli dengan seorang yang bukan siapa-siapa
bagi mereka, bukan seorang yang penting bahkan untuk tahu dia hidup atau mati
sekalipun adalah teramat sulit untuk dilakukan. Aku adalah aku dan hari ini
adalah hari pertama perkuliahan di kampus jingga, semester ganjil baru saja
dimulai dengan 120 menit psikologi sosial
sebagai mata kuliah pembuka, dan bukan karna jiwa adalah abstrak dan kesadaran
adalah nyata maka manusia adalah “ada”, tapi karna politik adalah kuasa dan
administrasi adalah kerjasama maka masyarakat adalah “korban dari otoritas”.
Ah…
hidup seorang mahasiswa tidaklah seperti yang terbayang dalam bayangan angan
waktu SMA, juga tidak seperti sinetron-sinetron bodoh yang memuakkan logika,
“jadi mahasiswa itu menyenangkan tapi susah dijalani !” seperti itulah
kira-kira slogan iklan yang menggambarkan seperti apa rasanya menjadi
mahasiswa, bukan hanya tentang materi atau tentang waktu yang kadang terasa
lama dan mengekang, tapi lebih tentang tanggung jawab dan semangat juang,
tentang orang tua dan masa depan, tentang skripsi dan dosen-dosen tak
berperasaan. Oh… betapa hidup ini hampa untukku yang tak punya banyak dosa !.
Perkuliahan
masih berlanjut dan 32 menit pertama materi ini berjalan aku hanya termangu
dalam khayalan-khayalan mainstream seorang mahasiswa “kere”, tentang apa yang
akan terjadi jika aku mengutang lagi di warung makan mbo jinem padahal utang
minggu lalu juga belum lunas barang sepeserpun?, atau tentang cara menghindari
jutaan tanya dari ibu kos yang telah berbulan-bulan kutelantarkan kewajibanku
kepadanya yang memang apa daya tangan tak sampai, uang tak punya hati merana,
ah… beginilah nasibku, tak ada yang peduli pada rintihan jerit tangis seorang
mahasiswa. Haah. Hilang lamunanku bersambung dengan suara dosen “amburadul”
yang dari tadi mengoceh tentang jiwa dan manusia, memang apa pentingnya kami
mahasiswa administrasi mempelajari jiwa? Apakah dengan mempelajari jiwa kami
akan bisa menyembuhkan orang dengan kelainan jiwa? Tentu tidak. Atau apakah
kami lalu bisa terbebas dari penyakit jiwa? Ah omong kosong !. tentu saja semua
itu kuutarakan dalam hati karna jika sampai dosen itu tahu, pasti takkan ada
yang tersisa dariku selain nama dan nomor induk mahasiswa yang kudapat dengan susah
payah dalam ujian lakhnat SNMPTN tahun lalu.
50
menit sudah perkuliahan tentang jiwa ini berlangsung dan tak ada tanda-tanda
dosen ini akan berhenti barang sejenak memberikan kami nafas berkutat dengan jiwa-jiwa
malang penghuni surga. Hah… betapa lamanya waktu berjalan. Lalu saat dosen ini
mulai membahas tentang Sigmund Freud, ketertarikan mulai menjalar dalam diriku,
kutegakkan gesture dudukku dan kuperhatikan setiap kata yang melintas dalam
ruang kelas ini tentang Sigmund Freud dan psikoanalisa-nya dan bahwa alam bawah
sadar manusia adalah ranah yang jauh lebih menarik dari pada alam sadar manusia
itu sendiri dan bahwa mimpi adalah proses mewujudkan keinginan di alam bawah
sadar dan kenyataan bahwa hasil karyanya telah membuka tabir dalam penelitian tentang
alam bawah sadar manusia lebih dalam dari yang pernah dilakukan peneliti
lainnya adalah bukti pantas tentang pengukuhannya sebagai bapak psikologi
modern sampai saat ini. Aku memang sangat tertarik dengan pemikiran ilmuan yang
satu ini apalagi tentang jabaran-jabarannya soal manusia dan alam bawah sadar
beserta hasil-hasil penelitiannya dalam buku psikoanalisa yang sungguh sangat
beruntung aku sempat membacanya, ah… luar biasa ilmuan yang satu ini, Sigmund
freud. Dan saat pembicaraan tentang freud habis, maka kebosananku pun ikut
terbawa dalam detik demi detik waktu yang membunuh.
76
menit sudah waktu berlalu dalam ruang kuliah D4 di gedung FISIP ini dengan
masih dan takkan terganti pembahasan tentang jiwa dan segala bentuk retorika
–retorika yang jumawa dari dosen yang masih setia berkutat dalam pembicaraannya
yang semakin membunuhku dalam kematian yang dramatis lagi melankolis ini.
Kemudian semakin jauh anganku melayang menembus batas-batas kesadaran menuju
tempat dimana alam bawah sadarku bebas memikirkan apa saja dan siapa saja. Ya,
siapa saja. Dan secepat itulah aku melihatnya, bertemankan langit merah, duduk
di atas bukit dengan rumput hijau terurai jauh menutupi bukit, disana dia duduk
diatas bangku kayu panjang yang sederhana menopang tubuhnya yang anggun dan
lambaian rok panjangnya memperindah pemandangan surgawi yang teramat manis
walau hanya dalam mimpi sekalipun. Gadis manis yang tak lagi asing dalam hari-hariku
di kampus jingga ini adalah alasan kenapa begitu rajinnya aku datang di kampus
ini, senyumnya adalah anugrah terindah dari langit ke-tujuh dan tawanya
bagaikan irama surga yang menembus batas-batas dunia manusia. Dia begitu indah
dalam setiap lambaian mata dan begitu mempesona dalam seluruh citra, dia adalah
malaikat yang dikirim tuhan untuk memberikan semangat padaku dan pada dunia,
ah… cantiknya bidadari manis itu ya tuhan, sungguh engaku adalah tuhan yang
paling baik kepadaku dan hari-hari penuh derita yang kulaui takkan berarti
apa-apa jika ku bisa melihat barang secerca senyum manis itu, oh…apakah yang
terjadi dengan diriku ini, apakah ini yang namanya cinta ? cinta cinta cinta.
Mungkin
memang benar bahwa ketika kita bermimpi maka itu adalah manifestasi dari
keinginan kita, keinginan bawah sadar yang meronta dan bergejolak untuk
dipenuhi dengan segala kelengkapanya, dan dia, gadis itu adalah bintang dalam
setiap mimpiku, setiap anganku adalah cerita tentang dia dan senyumannya.
Namun, kadang keinginan hanya akan menjadi keinginan semata, dia hanya akan
menjadi nyata dalam pikiran kita dan bukan di dunia.
117
menit telah berlalu dalam ruang kelas dengan delapan jendela dan satu pintu
ini, sang dosen berhenti berucap dan senyum dan tawa mulai menggema dari para
mahasiswa yang sadar bahwa semua kebosanan itu telah berakhir. Menit-menit yang
tersisa terpakai untuk membacakan absen setiap mahasiswa satu per satu, kebiasaan yang menurutku
sungguh membuang-buang waktu. Nama demi nama dipanggil dengan perlahan dan
lantang semakin lantang bersamaan dengan riuh gaduh suasana kelas yang tak
kondusif, tapi disitulah aku, duduk termenung dalam batas antara sadar dan tak
sadar, antara ego dan id mungkin dalam taraf super-ego, entahlah, namun satu
yang pasti lamunanku bukanlah tentang jiwa atau hutang yang menumpuk diluar
sana, diluar kelas disamping kota dan dunia yang tak pernah adil, tidak.
Lamunanku adalah tentang dia, wanita santun yang sungguh senang aku melihatnya,
sungguh tenang aku bersamanya, dan sungguh dia begitu nyata, nyata dalam
pikiranku, nyata dalam setiap langkah dan jalanku, dia nyata dan takkan pernah
ada yang dapat menghapusnya dari pikiranku. Tidak dosen itu, tidak dunia ini,
tidak hidup ini dan jelas bunyi alarm di kamarku ini pun takkan mampu
menghapusnya dari pikiranku. Takkan pernah bisa.
120
menit waktu berlalu dan,…
Pagi.
Pemuda Tertekan
Komentar
Posting Komentar