Ultimatum telah diturunkan kepadamu perihal problematika kehidupan yang tengah engkau hadapi. Sebuah ancaman akan keabsolutan takdir yang mengekang, bahwa harus engkau hadapi kenyataan bahwa tak ada tuhan diatas sana.
Perlukah lagi hakim bagi kejahatanmu pada kemanusiaan? Perlukah juga saksi bagi pembelaanmu yang tak berdasar? Bahwa telah kau lemparkan hakmu untuk hidup dan menentukan pilihan kepada yang transcendent, yang tak punya kontribusi apa-apa terhadap pilihan yang kau ambil sebagai manusia. Kejahatanmu adalah sesuatu yang kau sebut iman.
Padam juga api semantic yang coba kau gunakan dalam penafsiran soal korespondensi ketuhanan di dunia manusia, terlebih pada zona intra personal yang lebih intim dari gubahan-gubahan seniman sosiologi, anthropology maupun theology tentang manusia dan masyarakat. Dalam aksara yang dikenal oleh semua umat beragama itulah mereka mencari kebenaran yang absolute dan sekaligus naif. Seperti angin yang bertiup dari banyak arah, seperti itu pula kebenaran datang dalam subjectifitas dari sudut pandang yang luas dan dewasa.
Dengan berbagai alasan engkau bermain-main dalam pusaran kausalitas yang rapuh, berkata soal akibat dan lalu mempertanyakan sebab yang kau buat sendiri. Kau katakan ada pahala didalam dosa dan ada dosa didalam altruisme yang kau pertontonkan, namun dengan realitas nan hipokrit itu lalu kau lemparkan segala hitam pekat kejahatanmu itu kepada ketiadaan diatas sana... bahkan dengan standar moral yang paling tinggi sekalipun, kau tetaplah manusia yang bebas!!
A
Komentar
Posting Komentar