Stigma kelaki-lakian bahwa menangis adalah tabu bagiku seakan menghempaskan kepala yang ingin bersandar dipundak kenyataan ini. Berkata kepada orang lain dan membagi untaian derita dengan cerita, seakan lagi dibatasi oleh pamflet besar bertuliskan "LAKI-LAKI", dan seperti apa lagi harus kuputar balik setiap kata dalam kalimat-kalimat bahasa indonesia ini, untuk bisa dapat dimengerti bahwa hidup bagiku bukan lagi satu keindahan melainkan ujian tanpa jawaban.
Jika dia masih ada maka akan tercurah lagi air matanya saat melihatku dan apa yang telah kulihat dan kulalui dalam hidup ini. Dia akan menangis saat melihatku berkutat dengan ketidakadilan dunia yang pernah dia rasakan, seperti berkaca pada masa lalunya bahwa ada lebih dari banyak kata-kata pedih untuknya menggambarkan kehidupanya dan aku saat ini.
Jaket lusuh yang pernah kulihat dipakainya berkendara dalam bualan orang-orang di dalam kota, kini terpampang lagi satu kenyataan bahwa perjuangannya untuk hidup dan menghidupi orang-orang yang dicintainya adalah perjuangan yang lebih suci dari doktrin agama manapun. Jangan menangis! Tak boleh dia lihat aku menangis lagi hanya karena ketidakadilan yang kuterima oleh kehidupan ini. Dia takkan melihatku menangis hanya karena hidupku yang berat kurasakan ini, dia hanya akan melihatku menangis saat mengingat dirinya dan segala tentangnya. Aku ...
Dalam setiap malam hingga sekian tahun sejak dia pergi, telah banyak yang ku alami. Fantasi yang membutakan tentang dia yang masih ada dalam hari-hariku hingga kini seakan menjadi satu pendorong penting untuk langkah yang akan kubuat esok hari. Sebuah karisma yang hanya akan bisa kuceritakan pada orang-orang yang pernah bertemu denganya, sampai disini aku... karenamu.
Ayah.
Komentar
Posting Komentar