BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar belakang mas
Perkembangan
ekonomi Islam dalam tataran praktis maupun akademis sangat pesat. Hal ini dapat
dilihat dari data statistik perbankan syari’ah yang dikeluarkan tiap bulannya
oleh bank Indonesia, juga penelitian di bidang perbankan syari’ah, mulai dari
soal faktor-faktor yang memengaruhi minat masyarakat untuk menggunakan jasa
perbankan syari’ah, bidang investasi syari’ah, hingga soal model pemberdayaan
dana zakat di Indonesia.
Inti
asas ekonomi Islam adalah hak milik. Hak milik itu terdiri dari hak milik
pribadi, hak milik umum, dan milik Negara. Dalam realitas, banyak praktik
ekonomi (mikro maupun makro) mengalami kegagalan disebabkan kekeliruan
pemahaman mengenai hak milik, seperti mendapatkan harta korupsi atau suap untuk
membangun fasilitas umum dianggap benar, kebijakan sumber daya air, kebijakan
sumber daya alam dan energi, kebijakan pengentasan kemiskinan, kebijakan
privatisasi BUMN Milik Umum, kenaikan harga BBM dan berbagai penyimpangan
lainnya.
B.
Rumusan Masalah.
1.
Bagaimanakah sejarah ekonomi islam ?
2.
Apakah yang dimaksud dengan ekonomi islam ?
3.
Apa sajakah asas system ekonomi islam ?
4.
Bagaimanakah pandangan islam tentang ekonomi ?
5.
Bagaimanakah politik ekonomi islam ?
6.
Bagaimanakah kaidah umum perekonomian ?
C.
Tujuan penulisan.
1.
Menjelaskan sejarah ekonomi islam
2.
Menjelaskan tentang ekonomi islam
3.
Memaparkan tentang asas, pandangan, politik ekonomi, dan kaidah umum
perekonomian islam.
BAB 2.
PEMBAHASAN
1. Sejarah Ekonomi Islam
Sebenarnya
ada dua macam sejarah ekonomi. Pertama adalah sejarah pemikiran ekonomi yang
merefleksikan evolusi pemikiran tentang ekonomi. Dan kedua adalah sejarah
perekonomian yang menggambarkan bagaimana perekonomian itu bisa menjadi
perekonomian suatu bangsa, misalnya Inggris atau Jepang, bias pula suatu
kawasan misalnya Eropa Barat, Timur jauh atau Asia Tenggara, dan bahkan
perekonomian dunia berkembang.
Pemikiran
ekonomi Islam berusia setua Islam itu sendiri. Sepanjang 14 abad sejarah Islam
kita menemukan studi yang berkelanjutan tentang isu ekonomi dalam pandangan
syari’ah. Sebagian besar diskusi ini hanya terkubur dalam literatur tafsir
Al-Qur’an, sarah Hadits, dasar-dasar hukum Ushul fiqih dan Hukum Fiqih. Belum
ada usaha yang dilakukan untuk mengkaji lebih dalam materi-materi ini dan
menyajikannya secara sistematis. Studi ini dan studi filsafat moral dan
histografi mendapatkan perhatian ketika ilmu social yang baru dilahirkan
tersebut menjadi kurikulum di Universitas Negara muslim dan para sarjana mulai
menjari warisan Islam di bidang ini.
Beberapa
usaha telah dilakukan akhir-akhir ini untuk mempelajari ilmu ekonomi yang telah
diajarkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah. Karena isi kedua sumber ini bersifat
ketuhanan, ekonomi Islam hanya berupa interpretasi manusia itu sendiri yang
dalam hal ini menampakkan ciri khas pemikiran ekonomi dalam Islam. Pengajaran
ekonomi di dalam Al-Qur’an dan Sunnah bersifat Universal, tetapi manusia
mencoba menginterpretasikan dan mengaplikasikannya sesuai dengan kepentingan
pada waktu dan tempat usaha-usaha tersebut dilakukan.
Tetapi
yang jelas banyak aktivitas pengaturan ekonomi yang dilakukan selama masa
kepemimpinan Khulafaur Rasyidin dan Dinasti Umayyah yang berhubungan dengan
subjek ini seperti administrasi tanah kharaj. Pengumpulan dan pembayaran zakat, serta cara
para penguasa dan penasehat menggunakan Baitul
Maal dalam menangani permasalahan ekonomi pada masa mereka. Satu hal yang
dapat ditangkap dengan jelas adalah bahwa perhatian mereka pada pemenuhan
kebutuhan, keadilan, efisiensi, pertumbuhan, dan kebebasan merupakan objek
utama yang menginspirasikan ekonomi Islam sejak permulaan dulu.
2. Pengertian Ekonomi Islam
Ekonomi
Islam didefinisikan sebagai cabang ilmu yang membantu merealisasikan
kesejahteraan manusia melalui alokasi dan distribusi sumber daya yang langka,
yang sejalan dengan ajaran islam, tanpa membatasi kebebasan individu ataupun
menciptakan ketidakseimbangan makro dan ekonomi logis.
Pandangan
islam terhadap masalah kekayaan berbeda dengan pandangan islam terhadap masalah
pemanfaatan kekayaan. Menurut Islam, sarana sarana yang memberikan kegunaan (
utility ) adalah masalah lain. Karena itu, kekayaan dan tenaga manusia,
dua duanya merupakan kekayaan sekaligus
sarana yang bias memberikan kegunaan ( utility ) atau manfaat. Sehingga,
kedudukan kedua duanya dalam pandangan islam, dari segi keberadaan dan
produksinya dalam kehidupan, berbeda dengan
kedudukan pemanfaatan serta tata cara perolehan manfaatnya.
3. Asas Sistem Ekonomi Islam
Kegunaan
( utility ) adalah kemampuan suatu barang untuk memuaskan kebutuhan manusia.
Karena itu, kegunaan ( utility ) tersebut terdiri dari dua hal : pertama, adalah batas kesenangan yang
bias dirasakan oleh manusia ketika memperoleh brang tertentu. Kedua, keistimewaan keistimewaan yang
tersimpan pada zat barang itu sendiri, termasuk kemampuannya untuk memuaskan
kebutuhan manusia, dan bukan hanya kebutuhan orang tertentu saja. Kegunaan (
utility ) ini kadang lahir dari tenaga manusia, atau lahir dari harta kekayaan,
atau lahir dari harta kekayaan, atau dari kedua duanya sekaligus.
Sesuai
dengan fitrahnya, manusia bisa berusaha untuk memperoleh harta kekayaan
tersebut untuk dikumpulkan. Oleh karena itu, manusia dan harta kekayaan adalah
sama sama merupakan alat yang bisa dipergunakan untuk memuaskan kebutuhan
kebutuhan manusia. Dua duanya merupakan kekayaan yang bisa diraih oleh manusia
untuk dikumpulkan. Jadi, kekayaan itu sebenarnya merupakan akumulasi dari
kekayaan dan tenaga
Prinsip
Islam yang dapat dijadikan poros adalah bahwa, “kekuasaan palinh tinggi
hanyalah milik Allah semata (QS, 3:26, 15:2, 67:1) dan manusia diciptakan
sebagai khalifah-Nya di muka bumi,” (QS, 2:30, 4:166, 35:39). Sebagia
khalifah-Nya, “manusia telah diciptakan dalam bentuk yang paling baik. Seluruh
ciptaan lainnya seperti matahari, bulan, langit (cakrawala), telah
ditakdirkan untuk dipergunakan oleh
manusia.”
Dapat
dikatakan prinsip-prinsip kegiatan Ekonomi Islam adalah sebagai berikut:
·
Kekuasaan milik tertinggi
adalah milik Allah dan Allah adalah pemilik yang absolute atas semua yang ada
·
Manusia merupakan pemimpin
(khalifa) Allah di bumi tapi bukan pemilik yang sebenarnya.
·
Semua yang didapatkan dan
dimiliki oleh manusia adalah karna seizing Allah, oleh karena itu
saudara-saudaranya yang kurang beruntung memiliki hak atas sebagian kekayaan
yang dimiliki saudara-saudaranya yang lebih beruntung.
·
Kekayaan tidak boleh
ditumpuk terus atau ditimbun.
·
Kekayaan harus diputar.
·
Eksploitasi ekonomi dalam
segala bentuknya harus dihilangkan.
·
Menghilangkan jurang
perbedaan antar individu dapat menghapuskan konflik antar golongan dengan cara
membagikan kepemilikan seseorang setelah kematiannya kepada para ahli warisnya.
·
Menetapkan kewajiban yang
sifatnya wajib dan sukarela bagi semua individu termasuk bagi anggota
masyarakat yang miskin.
4. Pandangan Islam terhadap Ekonomi
Pandangan
Islam terhadap masalah kekayaan berbeda dengan pandangan Islam terhadap masalah
pemnfaatan kekayaan. Menurut Islam, sarana-sarana yang memberikan kegunaan
(utility) adalah masalah tersendiri, sedangkan perolehan kegunaan (utility)
adalah masalah lain. Karna itu kekayaan dan tenaga manusia, dua-duanya
merupakan, sekaligus sarana yang bisa memberikan kegunaan (utility) atau
manfaat sehingga, kedudukan kedua-duanya dalam pandangan Islam, dari segi
keberadaan dan produsinya dalam kehidupan, berbeda dengan kedudukan pemanfaatan
serta tata cara perolehan manfaatnya.
Karena
itu, Islam juga ikut campurtngan dalam masalah pemanfaatan kekayaan dengan cara
yang jelas. Islam, misalnya mengharamkan beberapa pemanfaatan harta kekayaan,
semisal khamer dan bangkai. Sebagaimana Islam juga mengharamkan pemanfaatan
tenaga manusia, seperti dansa, (tari-tarian) dan pelacuran. Islam juga
mengharamkan menjual harta kekayaan yang haram untuk dimakan, serta
mengharamkan menyewa tenaga untuk melakukan sesuatu yang haram dilakukan. Ini
dari segi pemanfaatan harta kekayaan dan pemanfaatan tenaga manusia. Sedangkan
dari segi tata cara perolehannya, Islam telah mensyariatkan hokum-hukum
tertentu dalam rangka memperoleh kekayaan, seperti hokum-hukum berburu,
menghidupkan tanah mati, hokum-hukum kontrak jasa, industry serta hukum-hukum
waris, hibbah, dan wasiat.
Oleh
karena itu, amatlah jelas bahwa Islam telah memberikan pandangan (konsep)
tentang system ekonomi, sedangkan ilmu ekonomi tidak. Dan Islam telah
menjadikan pemnfaatan kekayaan serta dibahas dalam ekonomi. Sementara, secara
mutlak Islam tidak menyinggung masalah bagaiamana cara memproduksi kekayaan dan
factor prodok yang bisa menghasilkan kekayaan.
5. Politik ekonomi Islam.
Politik
ekonomi adalah tujuan yang ingin dicapai oleh hokum-hukum yang dipergunakan
untuk memecahkan mekanisme mengatur urusan manusia. Sedangkan politik ekonomi
Islam adalah jaminan tercapainya pemenuhan semua kebutuhan primer (bacis needs) tiap orang secara
menyeluruh, berikut kemungkinan taip orang untuk memenuhi kebutuhan sekunder
dan tersiernya sesuai dengan kadar kesanggupannya, sebagi individu yang hidup
dalam sebuah masyarakat yang memiliki gaya hidup (life style) tertentu. Islma memandang tiap orang secara pribadi,
bukan secara kolektif sebagai komunitas yang hidup dalam sebuah Negara.
Pertamakali, Islam memandang tiap orang sebagai manusia yang harus dipenuhi
semua kebutuhan primernya secara menyeluruh. Baru berikutnya, Islam
memandangnya dengan kafa sitas pribadinya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kemampuannya. Kemudian pada saat
yang sama, Islam memndangnya sebagai orang yang terikat dengan sesamanya dalam
dalam interaksi tertentu, yang dilaksanakan dengan mekanisme tertentu, sesuai
dengan gaya hidup tertentu pula.
Oleh
karena itu, politik ekonomi Islam bukan hanya bertujuan untuk meningkatkan
taraf kehidupan dalam sebuah Negara semata, tanpa memperhatikan terjamin
tidaknya tiap orang menikmati kehidupan tersebut.
Ketika
mensyariatkan hukum-hukum ekonomi pada manusia. Islam telah mensyariatkan
hukum-hukum tersebut kepada pribadi. Dengan itu, hokum-hukum syara’ telah
menjamin tercapainya pemenuhan seluruh kebutuhan primer tiap warga Negara Islam
secara menyeluruh, sebagai sandang, pangan, dan papan. Caranya adalah
mewajibkan bekerja tiap laki-laki yang mampu bekerja, sehingga dia bisa
memenuhi kebutuhan-kebutuhan primernya sendiri, berikut kebutuhan orang-orang
yang nafkahnya menjadi tanggungannya. Kalau orang tersebut suh tidah mampu
bekerja, maka Islam mewajib kepada anak-anaknya, serta ahli warisnya untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan primernya. Atau bila yang wajib menanggung
nafkahnya tidak ada, maka baitul mal-lah
yang wajib memenuhinya.
Jelaslah
bahwa Islam tidak memisahkan antara manusia dan eksistensinya sebagai manusia,
serta antara eksistensinya sebagai manusia dan pribadinya. Islam juga tidak
perah memisahkan antara anggapan tentang jaminan pemenuhan kebutuhan primer
yang dituntut oleh masyarakat dengan masalah mungkin-tidaknya terpenuhinya
kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersier mereka. Akan tetapi Islam telah
menjdikan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut dengan apa yang dituntut oleh
masyarakat sebagai dua hal yang seiring, yang tidak mungin dipisahkan antara
satu dengan yang lain. Justru Islam
menjandikan apa yang ditutuntut oleh masyarakat tersebut sebagai asa (dasar
pijakan) untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang ada.
Islam
mendorong manusia agar bekerja, mencari rezeki dan berusaha. Bahkan Islam telah
menjadikan hukum mencari rezeki
tersebut. Adalah fardhu. Allah swt. Berfirman:
“Maka, berjalanlah di segala
penjurunya, serta makanlah sebagian rezeki-Nya.”
(QS. Al-Mulk: 15)
Banyak
hadist yang mendorong agar mencari harta. Dalam sebuah hadist: Bahwa Rasulullah
saw telah menyalami tangan Sa’ad bin Mu’adz r.a., dan ketika itu kedua tangan
Sa’ad ngapal (bekas-bekas karena
dipergunakan kerja). Kemudian hal itu ditanyakan oleh Nabi saw., lalu Sa’ad
menjawab: “Saya selalu mengayunkan skrop
dan kapak untuk mencari nafkah keluargaku.” Kemudian Rasulullah saw.
menciumi tangan Sa’ad dengan bersabda: “ (Inilah) dua telapak tangan yang
disukai oleh Allah swt.” Rasulullah saw juga bersabda:
“Tidaklah seseorang makan
sesuap saja yang ebih baik, selain ia makan dari hasil kerja tangannya
sendiri.”
6. Kaidah Umum Perekonomian
Dengan
membaca hukum-hukum syara’ yang menyangkut masalah ekonomi tersebut, nampaklah
bahwa Islam telah memecahkan masalah bagaimana agar manusia bisa memanfatkan
yang ada. Dan inilah yang sesungguhnya, menurut pandangan Islam, dianggap
masalah ekonomi bagi suatu masyarakat. Sehingga ketika membahas ekonomi, Islam
hanya membahas bagaimana cara memperoleh kekayaan masalah mengelola kekayaan
yang dilakukan oleh manusia, serta cara mendistribusikan kekayaan tersebut di
tengah-tengah mereka. Atas dasar inilah, maka hukum-hukum yang menyangkut
masalah ekonomi dibangun di atas tiga kaidah, yaitu kepemilikan (property), pengelolaan kepemilikan, dan
distribusi kekayaan di tengah-tengah manusia.
Kepemilikan
(property),dari segi kepemilikan itu
sendiri, sebenarnyamerupakan milik Allah, dimana Allah swt adalah Pemilik
kepemilikan tersebut, di satu sisi. Serta Allah sebagai Dzat yang telah
dinyatakan sebagai Pemilik kekayaan, di sisi lain. Dalam hali ini Allah swt
berfirman:
“Dan berikanlah kepada
mereka, harta dari Allah yang telah Dia berikan kepada kalian.”
(QS. An-Nur:33)
Sedangkan tentang pengolahan kepemilikan yang
berhubungan dengan kepemilikan umum (collective
property) itu adalah hak Negara, karena Negara adalah wakil ummat. Hanya
masalahnya, As –Syari’ telah melarang Negara untuk memgelola kepemilikin umum (collective property) tersebut dengan
cara barter (mubadalah) atau
dikapling untuk orang tertentu, sementara mengelola denganselain kedua cara
tersebut, asal tetap berpijak kepada
hokum-hukum, yang telah di jelaskan oleh syara’,tetap
diperbolehkan. Adapun mengelola yang berhubungan dengan kepemilikan Negara (state property) dan kepemilikan individu
(private property) Nampak jelas dalam
hokum-hukum muamalah, seperti jual-beli, penggadaian dan sebagainya. As-Syari’ juga telah memperbolehkan
Negara dan individu untuk memenej masing-masing kepemilikannya, dengan cara
barter (mubadalah) atau diberikan (silah) untuk orang tertentu ataupun
dengan cara lain, asal tetap berpijak kepada hokum-hukum yang telah di jelaskan
oleh syara’.
BAB 3. PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ekonomi
Islam didefinisikan sebagai cabang ilmu yang membantu merealisasikan
kesejahteraan manusia melalui alokasi dan distribusi sumber daya yang langka,
yang sejalan dengan ajaran islam, tanpa membatasi kebebasan individu ataupun
menciptakan ketidakseimbangan makro dan ekonomi logis.
Prinsip-prinsip
kegiatan Ekonomi Islam adalah sebagai berikut:
·
Kekuasaan milik tertinggi
adalah milik Allah dan Allah adalah pemilik yang absolute atas semua yang ada
·
Manusia merupakan pemimpin
(khalifa) Allah di bumi tapi bukan pemilik yang sebenarnya.
·
Semua yang didapatkan dan
dimiliki oleh manusia adalah karna seizing Allah, oleh karena itu
saudara-saudaranya yang kurang beruntung memiliki hak atas sebagian kekayaan
yang dimiliki saudara-saudaranya yang lebih beruntung.
·
Kekayaan tidak boleh
ditumpuk terus atau ditimbun.
·
Kekayaan harus diputar.
·
Eksploitasi ekonomi dalam
segala bentuknya harus dihilangkan.
·
Menghilangkan jurang
perbedaan antar individu dapat menghapuskan konflik antar golongan dengan cara
membagikan kepemilikan seseorang setelah kematiannya kepada para ahli warisnya.
·
Menetapkan kewajiban yang
sifatnya wajib dan sukarela bagi semua individu termasuk bagi anggota
masyarakat yang miskin.
Ekonomi
Islam merupakan racikan resep ekonomi yang digali dari Al-Qur’an dan Hadits.
Sebagai seorang muslim, kita tidak boleh meragukan kandungan ajaran Al-Qur’an.
Namun, kita perlu merumuskan praktik-praktik ekonomi yang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat tetapi tidak menyalahi prinsip-prinsip yang terkandung
dalam Al-Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
An-Nabhani,Taqyuddin,
Membangun Sistem Ekonomi Alternatif
Persektif Islam,Risalah Gusti, 1996, Surabaya.
Karim,
M.A S.E, Adiwarman. Ir.,Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam,The International Institut of Islamic Thought Indonesia,
2001, Jakarta
Lubis,
Ibrahim, H. Drs, Ekonomi Islam Suatu
Pengantar, Kalam Mulia, 1995 Jakarta.
Sholahuddin,
M. S.E, M.Si., Asas-asas Ekonomi Islam,
PT.Raja Grafindo Persada, 2007, Jakarta.
Komentar
Posting Komentar