BAB 1
Pendahulan
A.
Latar
belakang masalah
Kebijakan public atau public policy merupakan
salah satu bidang kajian yang menjadi pokok perhatian administrasi negara.. Bidang kajian ini amat penting
bagi administrasi negara, karena selain ia menentukan arah umum yang harus
ditempuh untuk mengatasi isu-isu masyarakat, iapun dapat dipergunakan untuk
menentukan ruang lingkup permasalahan yang dihadapi oleh pemerintahan. Selain
itu dapat pula dipergunakan untuk mengetahui betapa luas dan besarnya
organisasi pemerintahan itu.
Masalah – masalah yang tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat suatu negara kalau diangkat keatas pentas politik akan
merupakan masalah yang mendesak untuk dipecahkan oleh pemerintah. Masalah –
masalah itu kadang kala pelik dan fundamental, sehingga memerlukan pemecahan
masalah yang pelik pula. Masalah – masalah itu hidup, seperti hidupnya masyarakat yang dinamis. Tumbuh dan
berkembangnya suatu masalah dalam suatu masyarakat negara, lambat laun, cepat
atau lambat akan menyentuh dan disentuh oleh administrasi negara. Itulah
sebabnya administrasi negara mempunyai kepentingan terhadap pemecahan masalah –
masalah masyarakat. Proses pembentukan masalah pemerintahan, pemecahannya, penentuan
kebijaksanaan, pelaksanaan dan evaluasi kebijaksanaan tersebut untuk sementara
dapat digunakan sebagai gambaran pengertian kebijakan public atau public
policy.
Munculnya public policy dalam administrasi
negara sebagian dikarenakan banyaknya teknisi – teknisi administrasi menduduki
jabatan politik, dan sebagian lainnya karena bertambahnya tuntutan- tuntutan
masyarakatuntuk mendapatkan kebijaksanaan yang lebih baik. Orang orang
senantiasa bertumpu secara instingtif kepada pimpinannya. Mereka percaya bahwa
pimpinannya itumengetahui apa yang sebaiknya harus dilakukan. Mereka percaya
pula bahwa pimpinannya bisa engatasi isu- isu dan semua permasalahan yang
timbul diantara mereka. Karena kepercayaan inilah maka pimpinan dituntut untuk
memberikan keputusan dan kebijaksanaan yang baik untuk kepentingan mereka
tersebut. Dengan demikian usaha – usaha untuk senantiasa meningkatkan isi
public policy itu dibuat, adalah merupakan suatu hal yang disentuh oleh
administrasi negara.
B.
Rumusan
masalah
1.
Apakah
yang dimaksud dengan administrasi negara ?
2.
Apakah
yang dimaksud dengan kebijakan public atau public policy ?
3.
Bagaimanakah
pendekatan dan model – model dalam proses pembuatan kebijakan ?
4.
Bagaimanakah
proses pengambilan suatu kebijakan ?
5.
Bagaimanakah
hubungan antara kebijakan public dengan administrasi negara ?
C.
Tujuan
penulisan
1.
Untuk
memenuhi tugas mata kuliah pengantar administrasi negara sebagai bahan
pertimbangan dalam penentuan nilai oleh dosen mata kuliah yang bersangkutan.
2.
Untuk
menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan administrasi negara.
3.
Untuk
menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan kebijakn public atau public
policy.
4.
Menjelaskan
tentang pendekatan dan model – model dalam proses pembuatan kebijakan.
5.
Menjelaskan
proses pengambilan suatu kebijakan.
6.
Menjelaskan
hubungan antara kebijakan public dengan administrasi negara.
BAB 2
Pembahasan
A.
Administrasi
negara.
1.
Batasan
pengertian administrasi negara
Ilmu
administrasi negara pada dasarnya adalah mempelajari seluruh kegiatan atau
proses mengenai kerjasama di antara manusia untuk mencapai tujuan yang telah
ditentukan. Kegiatan yang berupa kerjasama tersebut sifatnya umum dalam arti
telah ada sejak jaman dahulu sampai sekarang. Kerjasama itu sendiri sifatnya
dapat menjurus kearah pencapaian tujuan pribadi (privat) dan dapat pula
menjurus kearah pencapaian tujuan masyarakat (publik). Oleh karena itu dalam
pelaksanaannya ilmu adminisirasi berorientasi kepada pencapaian tujuan yang
bersifat privat disebut dengan istilah "Administrasi Privat/Niaga". Sedangkan
ilmu administrasi yang berorientasi kepada pencapaian tujuan masyarakat disebut
dengan istilah "Administrasi Publik/Negara". Dengan demikian tidak
heranlah apabila seluruh konsep, teori atau sistem analisis dari ilmu administrasi
digunakan atau berlaku pula dalam administrasi niaga atau administrasi negara.
Penyelenggaraan
ilmu administrasi pada dasarnya untuk mencapai tujuan secara efektif dan
efisien. Oleh karena itu setiap kegiatan dalam administrasi diupayakan untuk tercapainya
tujuan sesuai dengan yang direncanakan dan mengandung rasio terbaik antara
masukan dengan keluaran. Mengingat ilmu administrasi adalah ilmu yang
mempelajari kerjasama, sedangkan kerjasama itu sendiri terdapat pada seluruh
lapisan masyarakat dalam setiap aspek kehidupan, maka kajian administrasi lebih
luas dari kajian ilmu sosial lainnya. Konsekuensi logis dari
luasnya kajian administrasi ini, maka sulit untuk
ditentukan suatu batasan yang tepat mengenai apa sebenarnya ilmu administrasi itu.
Dari berbagai batasan pengertian
administrasi menurut para ahli sebenarnya dapat dikelompokkan menjadi tiga
macam yaitu:
a.
Administrasi
diberi arti sebagai proses atau kegiatan.
Para ahli yang berpendapat demikian antara lain:
a. Sondang P. Siagian
Administrasi adalah keseluruhan proses kerjasama antara dua
orang atau lebih yang didasarkan atas rasionalitas tertentu untuk mencapai
tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.
b. The Liang Gie
Administrasi adalah segenap rangkaian perbuatan
pe-nyelenggaraan dalam setiap usaha kerjasama sekelompok manusia untuk mencapai
tujuan tertentu.
b.
Administrasi
diberi arti sebagai tata usaha
Para ahli yang berpendapat demikian antara lain:
a. Munawardi Reksohadiprawiro;
Dalam arti sempit, administrasi berarti tata usaha yang
mencakup setiap pengaturan yang rapi dan sistematis serta penentuan fakta-fakta
secara tertulis, dengan tujuan memperoleh pandangan menyeluruh serta hubungan
timbal balik antara satu fakta dengan fakta lainnya.
G. Kartasapoetra
Administrasi adalah suatu alat yang dapat dipakai menjamin
kelancaran dan keberesan bagi setiap manusia untuk melakukan perhubungan, persetujuan
dan perjanjian atau lain sebagainya antara sesama manusia dan/atau badan hukum
yang dilakukan secara tertulis.
c.
Administrasi
diberi arti sebagai pemerintah atau administrasi negara.
Para
ahli yang berpendapat demikian antara lain:
a.
J. Wajong
Administrasi negara adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengendalikan
usaha-usaha instansi pemerintah agar tujuannya tercapai.
b. Wijana
Administrasi adalah rangkaian semua organ-organ negara
rendah dan tinggi, yang bertugas menjalankan pemerintahan, pelaksanaan dan kepolisian.
Begitu pula halnya dengan pengertian
administrasi negara, pendapat para ahli mengenai batasan administrasi negara
sangat beraneka ragam, meskipun demikian apabila diperhatikan secara seksama
batasan administrasi negara tersebut mempunyai dua pola pikir yang berbeda
yaitu:
1) Pola pikir yang memandang bahwa administrasi negara
sebagai kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah atau lembaga legislatif. Ahli
yang berpendapat demikian antara lain W.F. Willoughby yang menyatakan bahwa
"Administrasi negara itu hanya berkaitan dengan fungsi
untuk melaksanakan hukum yang telah ditetapkan oleh DPR dan telah ditafsirkan juga
bahwa administrasi negara sebagai suatu bidang studi berkaitan terutama dengan sarana-sarana
untuk melaksanakan nilai-nilai atau keputusan politik."
Dengan demikian jelas menurut pola ini
bahwa administrasi negara hanya berkaitan dengan pelaksanaan kebijaksanaan
terutama yang telah diputuskan oleh lembaga eksekutif. Dalam kenyataannya
menunjukkan bahwa kegiatan administrasi negara ternyata sangat luas, oleh
karenanya pola pikir seperti itu kurang banyak pegikutnya.
2) Pola pikir yang memandang bahwa administrasi negara
sebagai kegiatan yang dilakukan oleh lembaga eksekutif, legislatif dan
yudikatif.
Ahli yang berpendapat seperti ini antara lain J.M. Pfiffner;
Administrasi negara adalah koordinasi dari usaha-usaha kolektif yang
dimaksudkan untuk melaksanakan kebijaksanaan pemerintah. Selanjutnya Gerald E.
Caiden menyatakan bahwa administrasi negara meliputi setiap bidang dan
aktivitas yang menjadi sasaran kebijaksanaan pemerintah, termasuk proses formal
dan kegiatan DPR, fungsi-fungsi yang berlaku dalam lingkungan pengadilan, dan
kegiatan lembaga-lembaga militer.
Dari kedua pola pikir tersebut di atas jelas bahwa ada dua
hal yang mendasar mengenai administrasi negara yaitu:
1. Administrasi negara tidak berkaitan dengan kegiatan
lembaga eksekutif saja.
2. Administrasi negara adalah kegiatan manusia yang
berhubungan dengan pengaturan sumber daya manusia dan alami yang diperlukan
untuk mencapai kemasyarakatan.
Sejalan dengan pemikiran tersebut diatas, Felix A. Nigro
berpendapat
bahwa:
1. Administrasi negara adalah usaha kelompok yang bersifat
kooperatif yang diselenggarakan dalam satu lingkungan publik.
2. Administrasi negara kegiatannya meliputi tiga bidang
yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif dan satu bidang dengan bidang lainnya
berhubungan erat.
3. Administrasi negara mempunyai peranan penting dalam
formulasi kebijaksanaan publik dan merupakan bagian proses politik.
4. Administrasi negara sangat berbeda dengan administrasi
niaga.
5. Administrasi negara berhubungan erat dengan kelompok
niaga dan individu dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Seperti halnya ilmu administrasi, maka
administrasi negarapun dapat dikatakan seni dan ilmu. Konteks ini harus
digunakan secara tepat yaitu sebagai ilmu apabila administrasi negara itu menjadi
lapangan penyelidikan ilmiah dan merupakan bidang studi serta memenuhi
persyaratan sebagai ilmu. Administrasi negara sebagai suatu seni apabila
diperhatikan fungsi praktisnya yaitu merupakan fenomena yang universal sifatnya
sehingga merupakan kemahiran yang diperoleh melalui pengalaman. Hal ini sesuai
dengan pendapat Robert Presthus yang menyatakan bahwa administrasi negara
sebagai seni dan ilmu dalam merancang dan melaksanakan kebijaksanaan publik. Sejalan
dengan pendapat Robert Presthus adalah Dimock and Dimock yang menyatakan bahwa
sebagai suatu studi, administrasi negara membahas setiap aspek kegiatan
pemerintah yang dimaksudkan untuk melaksanakan hokum dan memberikan pengaruh
pada kebijakan publik. Sebagai suatu proses administrasi negara adalah seluruh
langkah yang diambil dalam penyelesaian pekerjaan dan sebagai suatu kemampuan
administrasi negara mengorganisasikan dan mengarahkan kegiatan orang-orang
dalam lembaga publik.
Di Indonesia baik para ilmuwan maupun
praktisi cenderung sepakat mengenai administrasi negara itu adalah seni dan
ilmu, hal ini tercermin dengan banyaknya para ahli yang mengutip pendapat D.
Waldo mengenai administrasi negara yaitu:
1. Administrasi negara adalah organisasi dan manajemen dari
manusia dan benda guna mencapai tujuan pemerintah.
2. Administrasi negara adalah suatu seni dan ilmu tentang
manajemen yang dipergunakan untuk mengatur urusan-urusan negara.
2. Perkembangan paradigma administrasi
publik
Dari literatur-literatur yang ada
mengenai administrasi negara terdapat berbagai konsepsi, teori atau gejala yang
tumpang tindih. Konsepsi, teori atau gejala tersebut pada dasarnya merupakan
suatu kenyataan yang tidak bisa ditolak keberadaannya yaitu mengenai
administrasi negara baik sebagai suatu ilmu ataupun sebagai suatu seni.
Konsepsi, teori atau gejala ini lazimnya disebut dengan istilah paradigma. Dengan
demikian paradigma administrasi negara berarti inti teori administrasi negara
baik yang telah teruji maupun yang akan diuji kebenarannya.
Berdasarkan pengamatan Robert T.
Golembiewsky menyimpulkan bahwa dalam setiap periode perkembangannya
administrasi negara dapat ditandai oleh apakah administrasi negara itu
"Locus" atau "Focus". Locus artinya tempat/letak
kelembagaan dari administrasi negara misalnya pada birokrasi pemerintahan. Focus sesuatu yang
dikhususkan untuk administrasi negara, menurut Robert T. Golembiewsky contoh
focus administrasi negara adalah prinsip-prinsip administrasi. Locus dan Focus
inilah yang menjadi dasar perbedaan pendapat para ahli dalam merumuskan batasan
administrasi negara.
Oleh karena itu setiap paradigma
administrasi negara yang satu akan berbeda dengan paradigma yang lainnya,
Perbedaan tersebut terletak dalam locus dan focusnya.Nicholas Henry secara
rinci mengemukakan lima paradigma administrasi negara yaitu:
a.
Paradigma
Pertama: Dikhotomi Politik-Administrasi (1900-1926)
Periode ini berarti adanya pemisahan
antara ilmu politik dengan administrasi. Periode ini ditandai dengan munculnya
buku Politics and Administration karangan Frank J. Goodnow tahun 1900. Dalam
bukunya Goodnow menyatakan bahwa ada dua fungsi yang berbeda dari pemerintahan yaitu:
Pertama, fungsi politik yang menyangkut kebijaksanaan atau ekspresi kemauan
negara, dan Kedua, fungsi administrasi, yaitu yang menyangkut pelaksanaan
kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut.
Alam pikiran Goodnow mengenai pemisahan
fungsi pemerintahan ini mungkin dipengaruhi oleh adanya sistem pemisahan
kekuasaan di Amerika Serikat. Selain itu Goodnow berpendapat bahwa administrasi
negara seharusnya memusatkan perhatian kepada birokrasi yang berlaku dibidang
pemerintahan.Pengesahan secara akademik terhadap administrasi negara diperoleh
pada tahun 1920-an yaitu dengan keluarnya buku Introduction to the Study of
Public Administration karangan Leonard D. White tahun 1926. White menyatakan bahwa
politik seharusnya tidak ikut mencampuri administrasi dan administrasi negara
harus bersifat studi ilmiah dan dapat bersifat bebas nilai, sedangkah misi pokok
administrasi negara adalah efisiensi dan ekonomis. Buku karangan White ini
merupakan buku yang pertama membahas secara lengkap bidang administrasi negara
dengan berbagai kasusnya. Dengan demikian pada paradigma yang pertama ini
administrasi negara menekankan pada "locus" tempat administrasi negara
berada yaitu bebas nilai.
b.
Paradigma
Kedua: Prinsip-prinsip Administrasi Negara (1927-1937)
Pada masa ini berkembang anggapan bahwa
prinsip-prinsip administrasi yang bersifat universal yang dapat ditemukan dan
yang dapat berlaku kapan dan dimana saja. Prinsip-prinsip administrasi adalah
prinsip dalam arti yang sebenarbenarnya.
Prinsip-prinsip administrasi akan
berlaku dalam setiap lingkungan administrasi, tanpa memandang segala macam
bentuk faktor budaya, fungsi, lingkungan, misi, dan situasi. Tanpa ada kecualinya
prinsip-prinsip administrasi dapat diterapkan dimana saja dengan hasil yang
memuaskan. Anggapan ini bersumber dari buku Principles of Public Administration
karangan W.F. Wilioughby tahun 1927.
Pada periode 1940-an ini administrasi
negara menunjukkan adanya arah yaitu: Pertama: tumbuh kesadaran bahwa politik dan administrasi negara
tidak dapat dipisahkan dalam pengertian apapun. Kedua: Prinsip-prinsip
administrasi secara logis tidak konsisten.
Dengan demikian pada paradigma yang
kedua ini administrasi negara jelas fokusnya adalah bagaimana menjalankan
prinsip-prinsip administrasi tersebut.
c.
Paradigma
Ketiga: Administrasi Negara sebagai llmu Politik (1950-1970)
Pada masa ini berkembang anggapan bahwa
administrasi negara tidak dapat dipisahkan dari ilmu politik, hal ini ibarat
dua mata uang dengan dua muka.Dalam proses administrasi negara banyak menerima
masukan dari politik begitu juga sebaliknya. Tokoh pada masa ini adalah Herbert
Simon. Apabila diperhatikan ternyata jelas bahwa gerakan ini sifatnya mundur,
karena itu timbul batasan-batasan administrasi negara yang bersifat menerapkan
locus pada birokrasi pemerintah. Masa ini dapat pula diistilahkan dengan masa
yang meninjau kembali jalinan konseptual antara administrasi negara dengan
politik. Tulisan-tulisan mengenai administrasi negara pada masa ini berusaha mengkaitkan
administrasi dengan ilmu politik. Selain itu ada juga tulisan yang hanya
berbicara tentang penekanan atau penonjolan satu wilayah kepentingan dan bahkan
sebagai sinonim dengan ilmu politik. Menurut Unesco Paris 1948 ilmu politik
dibagi dalam 4 (empat) bagian, yaitu: 1)
teori politik, 2) lembaga politik, 3) kekuatan politik dan 4) politik internasional. Administrasi negara adalah bagian dari lembaga politik.
d.
Paradigma
Keempat: Administrasi Negara sebagai Ilmu Administrasi
(1956-1970)
Pada masa ini para ahli administrasi
merasa dikucilkan oleh ahli lainnya. Oleh karena itu mereka mempelajari
sungguh-sungguh ilmu administrasi yang berintikan teori organisasi dan
manajemen dalam upaya meningkatkan efektivitas dan efisiensi program. Dalam
keadaan seperti ini jelas administrasi negara memfokuskan kepada teori perilaku
organisasi, efektivitas dan efisiensi manajemen. Paradigma keempat terjadi
hampir bersamaan waktunya dengan paradigma ketiga. Tokoh penting pada periode
ini adalah Kith M. Hendarson (1966), James G. March dan Herbert Simon (1058), Richard
Cyert dan James G. March (1963), James G. March (1965), James D. Thompson.
e.
Paradigma
Kelima: Administrasi Negara sebagai Administrasi Negara
(1970 sekarang)
Pada masa ini Herbert Simon
mengemukakan dua aspek penting yang perlu dikembangkan dalam disiplin ilmu
administrasi negara. Kedua aspek itu adalah: Pertama,
para ahli administrasi negara yang
meminati pengembangan satu ilmu murni mengenai administrasi. Kedua, satu
kelompok yang lebih besar yang meminati persoalan-persoalan kebijakan publik.
Dengan demikian fokusnya adalah: teori
perilaku organisasi dari segi bagaimana/menggapainya bukan dari segi seharusnya
dan teknik manajemen yang terakhir. Sedangkan locusnya adalah kebijakan
publik/ilmu kebijakan. Sejalan dengan ini Stephen K. Bailey mengatakan ada tiga
pokok utama dalam studi administrasi negara yaitu: Pertama, perilaku
organisasi dan perilaku anggota-anggota organisasi publik. Kedua, teknologi
manajemen, dan Ketiga, kepentingan publik yang erat hubungannya dengan masalah
publik,ketika dan kebijakan publik.
Memperhatikan kelima paradigma tersebut
diatas, maka dapat disimpulkan bahwa fungsi dasar administrasi negara adalah:
1.
Merumuskan kebijakan publik, misalnya:
pemerataan, pertumbuhan ekonomi/kemakmuran, keamanan dan seterusnya dengan
prosesnya antara lain: analisis keadaan sekarang, alternatif perubahan dimasa
depan, penyusunan strategi/teknik/program/kegiatan dan akhimya keputusan.
2.
Pengendalian perilaku organisasi dan
perilaku organisasi publik meliputi struktur organisasi, kepegawaian, keuangan,
perbekalan, tata usaha kantor dan hubungan masyarakatnya.
3.
Penggunaan teknologi manajemen publik
meliputi kepemimpinan, komunikasi, koordinasi dan pengawasan.
B. Kebijakan
publik / public policy
1.
Pengertian public policy
Dalam arti yang luas
policy mempunyai dua aspek pokok , antara lain :
a.
Policy
merupakan praktik social, ia bukan event yang tunggal atau terisolir. Dengan
demikian sesuatu yang dihasilkan pemerintahberasal dari segala kejadian dalam
masyarakat dan dipergunakan pula untuk kepentingan masyarakat. Kejadian semacam
ini tumbuh dalam praktik kehidupan masyarakat, dan tidak merupakan peristiwa
yang berdiri sendiri, terisolasi dan asing bagi masyarakat. Suatu contoh,
Operasi Pemulihan Keamanan (OPK) adalah suatu peristiwa masyarakatyang tidak
berdiri sendiri. OPK timbul, karena terancamnya keamanan dari para penjahat,
perampokan, penjambretan, pembunuhan, dan penculikan yang dilakukan oleh para
penjahat adalah praktek – praktek kejahatan dalam masyarakat. Praktek ini
merupakan persoalan (problem) masyarakat. Problem ini kemudian dijadikan isu.
Dan dari isu inilah yang nantinaya pada gilirannya akan bisa menjadi policy.
Karena itu ia tumbuh dari suatu peristiwa yang benar - benar terjadi. Suatu
praktik dari masyarakat. Maka OPK merupakan suatu policy yang diambil oleh
pemerintah dalam mengatasi kejahatan yang merajalela.
b.
Policy
adalah suatu peristiwa yang ditimbulkan oleh baik untuk mengamankan “ claim “
dari pihak – pihak yang berkonflik, atau untuk menciptakan “ incentive “ bagi
tindakan bersama bagi pihak – pihak yang ikut menetapkan tujuan akan tetapi
mendapatkan perlakuan yang tidak rasional dalam usaha bersama tersebut. Dengan
demikian jika ada pihak – pihak yang berkonflik, maka usaha untuk mengatasinya
antara lain dihasilkan suatu policy. Selain itu jika terjadi beberapa pihak yang
bersama – sama ikut menentukan tujuan yang ingin dicapai bersama, akan tetapi
dalam perjalanannya ada pihak – pihak yang mendapatkan perlakuan yang tidak
sama dan tidak rasional. Maka diciptakan suatu tindakan yang berupa policy yang
dapat mendorong agar diciptakan situasi yang rasional. Policy semacam ini
merupakan dorongan atau incentive bagi pihak – pihak yang sudah sepakat
menentukan tujuan bersama tersebut untuk bersama – sama bekerja secara
rasional.
Dari dua
aspek pokok tersebut dapat disimpulkan bahwa policy disatu pihak dapat
berbentuk suatu usaha yang kompleks dari masyarakat untuk kepentingan
masyarakat, dilain pihak policy merupakan suatu teknik atau cara untuk
mengatasi konflik dan menimbulkan insentif.
Selain
itu ahli ilmu politik Harold Lasswell dan filosof Abraham Kaplan menyatakan
bahwa :
“policy
dapat dirumuskan sebagai suatu program
yang diproyeksikan dari tujuan – tujuan , nilai – nilai , dan praktik –
praktik . “
Adapun
Carl Frederick mengatakan :
“ adalah
amat mendasar bagi konsep policy terhadapnya suatu tujuan, sasaran, atau
keinginan. “
Ahli ilmu
politik lainnya Heinz Eulau dan Kenneth Prewitt mengemukakan rumusannya sebagai
berikut :
“ policy
dirumuskan sebagai suatu keputusan yang teguh yang disifati oleh adanya
perilaku yang konsisten dan pengulangan pada bagian dari keduanya yakni bagi
orang – orang yang membuatnya dan bagi orang – orang yang melaksanakannya.”
Pengertian
– pengertian policy seperti yang dikutipkan diatas kiranya dapat dipergunakan
sebagai dasar pemahaman dari public policy. Tetapi sehubungan dengan pernyataan
Heinz eulau dan Kenneth prewitt diatas ,
bahwa policy dilakukan baik oleh pemerintah maupun yang melaksanakan dengan
menekankan adanya perilaku yang konsisten dan berulang. Maka Thomas dye
meragukan hal semacam itu. Menurut Dye pemerintah seringkali melakukan hal –
hal yang tidak konsisten dan tidak berulang.
“
sekarang pastilah bahwa akan merupakan hal yang amat indah jikalau kegiatan –
kegiatan pemerintah itu disifati oleh “konsistensi dan pengulangan” , dan
demikian pula akan merupakan hal yang meragukan jikalau kita menjumpai
“kebijaksanaan pemerintah” dalam pemerintahan berpegang teguh pada kriteria –
kriteria ini. Apa yang dikerjakan pemerintah itu semuanya adalah tidak
konsisten dan tidak ada pengulangan”.
Adapun
public policy menurut David Easton, dapat dirumuskan sebagai berikut
“alokasi
nilai yang otoritatif untuk seluruh masyarakat akan tetapi hanya pemerintahlah
yang dapat berbuat secara otoritatif untuk seluruh masyarakat, dan semuanya yang dipilih oleh
pemerintah untuk dikerjakan atau tidak dikerjakan adalah hasil – hasil dari
alokasi nilai – nilai tersebut.”
Public
policy menurut Thomas R Dye adalah apapun yang dipilih oleh pemerinah untuk
dilakukan ataupun untuk tidak dilakukan. Dalam pengertian seperti ini, maka
pusat perhatian dari public policy tidak hanya pada apa saja yang dilakukan
oleh pemerintah, melainkan termasuk juga apa saja yang tidak dilakukan oleh
pemerintah. Justru dengan apa yang tidak dilakukan oleh pemerintah itu
mempunyai dampak yang cukup besar terhadap masyarakat seperti halnya dengan
tindakan – tindakan yang dilakukan oleh pemerintah. Dapat dibayangkan betapa
besar pengaruhnya terhadap masyarakat jika pemerintah mendiamkan atau tidak
melakukan tindakan apa – apa terhadap kejahatan yang semakin merajalela dalam
masyarakat. Dengan demikian tindakan tidak melakukan apa – apa merupakan policy
yang diambil pemrintah. Sebagaimana policy itu dapat dilakukan pemerintah
dengan melakukan tindakan – tindakan.
Pemerintah
dapat melakukan banyak hal lewat proses pengambilan kebijaksanaan. Pemerintah
dapat mengatur konflik yang terjadi dalam masyarakat dan menata birokrasi untuk
melaksanakan konflik tersebut. Seperti misalnya konflik yang terjadi dalam
partai politik, pemerintah dapat memainkan peranan untuk mengatur konflik
tersebut. Pemerintah juga dapat melakukan distribusi aneka macam symbol –
symbol penhargaan dan bantuan pelayanan materi terhadap anggota masyarakat. Bagi
pegawai negri yang telah mengabdi kepada pemerintah 25 tahun berturut – turut
akan mendapatkan penghargaan. Guru yang menunjukan prestasi teladan akan
mendapatkan pelayanan kenaikan pangkat istimewa, dan lain sebagainya. Dengan
demikian public policy mengatur banyak hal mulai dari mengatur perilaku,
mengorganisasikan birokrasi, mendistribusikan penghargaan sampai pula penarika
pajak – pajak dari anggota masyarakat.
Sementara
itu public policy dapat juga dilakukan oleh pemerintah dengan cara mengalokasikan
beberapa persen dar GNP – nya dan sejumlah hasil yang diproduksikan pemerintah
setiap tahunnya kepada masyarakat.
Selai itu
public policy dapat pula menangani aneka ragam bidang cakupan substantive,
seperti misalnya pertahanan, keamanan, energy, lingkungan, masalah – masalah
luar negri, pendidikan, kesejahteraan, kepolisian, lalu lintas jalan raya,
perpajakan, perumahan, kesehatan, keluarga berencana, pembangunan pedesaan,
inflasi dan resesi dan banyak hal lagi. Public policy juga dapat mengatur dari
masalah – masalah yang vital sampai dengan masalah – maslah yang kurang
penting, dan dari alokasi anggaran yang jutaan rupiah sampai dengan system
persenjataan yang mutakhir.
2. Ruang lingkup study public policy
.
Miftah Thoha dalam bukunya dimensi – dimensi prima
ilmu administrasi negara, mengemukakan rumusan ruang lingkup study public
policy sebagai berikut, :
a.
Adanya
partisipasi masyarakat ( public participation)
Ruang lingkup public policy yang pertama
yakni membangkitkan adanya partisipasi masyarakat untuk bersama – sama
memikirkan cara – cara yang baik untuk mengatasi persoalan – persoalan
masyarakat. Tanpa adanya partisipasi masyarakat dan rakyat banyak maka public
policy kurang bermakna. Dalam masyarakat yang tradisional pemerintah dan urusan
– urusan politik menjadi tanggung jawab elit, masyarakat pada umumnya tidak
tahu apa yang dikerjakan oleh pemerintah. Public policy adalah apa yang menjadi
urusannya elit tersebut. Akan tetapi dalam masyarakat yang modern, demokratis
dan yang kuasaan tertinggi ada di tangan rakyat, maka partisipasi dari
masyarakat sangat penting sekali dalam urusan – urusan pemerintahan termasuk di
dalamnya urusan public policy. Itulah sebabnya partisipasi merupakan lingkup
kajian dalam public policy.
b.
Adanya
kerangka kerja policy (policy framework)
Kerangka
kerja disini dimaksudkan untuk memberikan batas kajian yang diakukan oleh
public policy. Batas ini hendaknya mampu mendorong untuk mengkonstruksi semua
factor – factor yang potensial dalam proses pembuatan policy. Kesemuanya ini
hendaknya dipertimbangkan oleh pembuat policy. Factor – factor yang membentuk
kerangka kerja policy termasuk didalamnya ialah :
·
Apakah
tujuan yang ingin dicapai dari policy yang akan dibuat ?,
·
Bagaimana
dan apakah nilai – nilai yang perlu dipertimbangkan dalam public policy ?,
·
Apakah
sumber – sumber yang mendukung policy gersedia dan dapat dimanfaatkan ?,
·
Siapakah
pelaku – pelaku yang terlibat dalam public policy, dan apakah mereka mampu dan
mau melaksanakannya ?,
·
Bagaimanakah
factor lingkunagn yang mempengaruhi policy yang bakal dibuat,
mendukung,menolak,atau pasif ?,
·
Bagaimanakah
strategi yang harus dijalankan didalam membuat, melaksanakan dan mengevaluasi
public policy ?,
Dan banyak lagi yang
bisa dimasukkan kedalam kerangka kerja ini seperti misalnya factor waktu dan
lainnya.
Kerangka kerja ini merupakan suatu
ceklis yang memberikan dasar untuk menguji secara empiris, membangun kerangka
teori, dan memperlakukan masa berlakunya (validation). Dengan demikian pembuat
policy di masa – masa mendatang mampu menempatkan dirinya di dalam ramainya
lalu lintas pengetahuan yang ada, dan yang mampu memilih sutau tanda dan jalan
yang seharusnya dilaluinya untuk mempermudah usahanya didalam public policy.
c.
Adanya
strategi – srategi policy (policy strategies)
Study public policy pada masa – masa terakhir
ini nampaknya mulai banyak memperhitungkan kekomplekan dan saling
ketergantungannya beberapa factor yang mempengaruhi public policy. Suatu
masalah social yang tampil ke permulaan public policy tidak lagi dipandang
berasal dari satu bidang kajian saja. Masalah tersebut saling kait – mengait dengan
bidang kajian lainnya. Itulah sebabnya pembuat kebijaksanaan harus mampu
mengamati kesemuanya itu secara jeli sebelum menetapkan strategi yang dapat
diandalkan. Pembuat kebijaksanaan tersebut harus mampu mempertanyakan hal – hal
berikut ini, :
·
Apakah
yang menjadi persoalan sebenarnya, sehingga dirinya patut dibuatkan policynya
?,
·
Bagaimanakah
persoalan dan kemungkinan pemecahanya berkaitan dengan persoalan dan pemecahan
bidang lainnya ?,
·
Kepentingan
– kepentingan siapakah yang bakal dipengaruhi dengan adanya persoalan dan
pemecahannya nanti ?,
·
Apakah
ada kepentingan – kepentingan gabungan yang bakal merasa puas karena terpenuhi
dengan adanya policy tersebut ?,
·
Hal
– hal manakah yang dapat mewujudkan kepentingan – kepentingan masyarakat banyak
?,
·
Sampai
seberapa jauhkah kompromi dimungkinkan untuk menjamin adanya keterbuakaan
pilihan – pilihan di masa depan atau memperhitungkan masa lalu dengan
mengharapkan masa depan lebih cerah ?,
Pertanyaan – pertanyaan tersebut hendaknya
dipertimbangkan secermat mungkin untuk menetapakan strategi yang patut bagi
public policy. Sungguh policy atau kebijakan yang terbaik itu adalah policy
yang berlandaskan akan strategi yang tepat, yang pemecahannya bergayutan dengan
wilayah persoalannya, dan yang sama sekali tidak menghilangkan sruktur
kekuasaan dan instrument – instrument innovative yang ada untuk pelaksanaan
public policy.
d.
Adanya
kejelasan tentang kepentingan masyarakat (public interest)
Public interest atau kepentingan umum
hendaknay dirumuskan dengan memasukan baik kepentingan – kepentingan pribadi
dan kepentingan masyarakat umum, dan juga hendaknya memberikan keseimbangan
pada kepentingan pribadi yang terorganisasikan sebelum hal tersebut diputuskan
sebagai kebijaksanaan pemerintah.
Unsur lain yang perlu dipertimangkan dalam
pengertian kepentingan umum (public interest) ialah adanya kegiatan kerja sama.
Kegiatan ini perlu dipertimbangkan karena kegiatan ini menunjukan adanya
masyarakat. Jadi jelaslah bahwa teori kepentingan masyarakat yang
demokratis-walaupun tidak seluruhnya sama-adalah sama dengan teori demokrasi.
Seseorang dalam tindakan – tindakan politiknya senantiasa memperhitungkan
secara tepat apa – apa yang menjadi kepercayaannya sebagai kepentingan orang
lain, secara keseluruhan. Dengan demkian kepentingan orang lain itu tidak hanya
sekedar beberapa dari orang lain itu, melinkan orang lain dalam arti
keseluruhan anggota masyarakat.
Public policy mencoba membantu untuk
menjelaskan mengenai apa yang dimaksudkan rakyat banyak tentang kepentingan
masyarakat tersebut. Demikian pula public policy berusaha mempertegas premis –
premis nilai yang dipergunakan oleh pembuat kebijaksanaan, memberikan penafsiran
yang jelas tentang etika umum yang menjadi pegangannya, dan memperjelas
konsepsi – konsepsi tentang peranan dari abdi masyarakat sebagai suatu
instrument, pelindung, pendamai konflik, articulator kepentingan, dan arsitek
social.
e.
Adanya
pelembagaan lebih lanjut dari kemampuan public policy
Beberapa study yang dilakukan dibidang public
policy pernah menyatakan bahwa struktur lembaga – lembaga yang telah ada tidak
mampu mengatasi persoalan – persoalan kontemporer yang timbul dan tidak mampu
mengatasi halangan – halangan institusional utuk mendapatkan policy yang lebih
baik.
Study public policy sekarang nampaknya mampu
menarik gelombang baru dari kesadaran para mahasiswa yang ingin secara sadar
memperbaiki dan menyempurnakan keadaan sekelilingnya dengan cara mengubah
proses pembuatan public policy dan lembaga – lembaga yang mempegaruhinya.
Sementara itu para sarjana, professor, dan ahli – ahli public policy menjumpai
adanya kekosongan dibidang – bidang baru yang perlu diisi dengan pemikiran yang
kreatif, dan orang – orang yang terdidik.
Hal ini akan bisa tercapai jika diadakan
suatu lembaga riset yang independen tentang public policy ini. Lembaga riset
ini merupakan salah satu lingkup wilayah yang dipergunakan sebagai bidang
kajian dari public policy.
f.
Adanya
isi policy dan evaluasinya
Study tentang proses pembuatan public policy
didasarkan atas kebijaksanaan yang nyata. Pada mulanya study public policy ini
isinya antara lain :
·
Penelitian
mengenai permainan kekuasaan,
·
Partisipan
– partisipan dalam public policy,
·
Pelaku
– pelaku pembuat kebijaksanaan yang menjelaskan variable – variable policy.
Sekarang ini isi public policy banyak
mengamati tentang pelaku – pelaku public policy, hubungan – hubungan diantara
mereka, strategi – strategi public policy, dan hasil – hasil yang dapat
mempengaruhi sistem sosial dan tujuan – tujuan yang bakal dicapai.
C. Pendekatan dan model
– model dalam proses pembuatan kebijakan
(public policy)
1.
Pendekatan
dalam pembuatan kebijakan.
Ada
beberapa pendekatan yang dapat diambil dalam pembuatan suatu kebijakan
diantaranya :
a.
Pendekatan
kelembagaan.
Pendekatan kelembagaan terhadap proses
pembuatan kebijakan sebenarnya merupakan derivasi dari ilmu politik tradisional
yang lebih menekankan struktur daripada proses atau perilaku politik.
Pendekatan yang kedua mengukur keberadaan demokrasi tidak hanya melalui ada
tidaknya institusi perwakilan dan pemilu, misalnya, tapi lebih dari itu,
menekankan seberapa jauh fungsi dari lembaga perwakilan, seberapa jauh
masyarakat bisa mengartikulasikan dan mengagregasikan kepentingannya, seberapa
jauh masyarakat dapat memilih tanpa paksaan, dan sebagainya.
Dengan meminjam terminiologi ilmu politik,
study kebijakan negara yang mempergunakan pendekatan kelembagaan memandang
kebijakan negara sebagai kegiatan – kegiatan yang dilakukan oleh lembaga –
lembaga pemerintah, seperti parlemen, kepresidenan, pemerintah pusat,
pemerintah daerah, partai politik, dan sebagainya. Masyarakat, baik individual
maupun berkelompok, memiliki kewajiban untuk mematuhi kebijakan – kebijakan
yang dibuat oleh pemerintah, karena lembaga – lembaga pemerintah tersebut mempunyai
legitimasi politik dan oleh karenanya berhak memaksakan kebijaksanaannya.
Berbeda dengan institusi lain diluar
pemerintah, pada dasarnya lembaga – lembaga pemerintah memiliki legitimasi
untuk menciptakan kebijakan yang menjangkau semua lapisan masyarakat. Pada
tingkat tertentu kekuatan paksaan bisa dilakukan agar masyarakat mau memenuhi
kewajiban untuk menuruti kehendak pembuat kebijakan.
Salah satu kelemahan yang muncul dari
pendekatan ini adalah terabaikannya masalah – masalah lingkungan dimana
kebijakan itu diterapkan. Kegagalan program yang berasal dari lingkungan di
luar institusi pembuat kebijakan tidak dapat terdeteksi dengan baik oleh
pendekatan ini.
b.
Pendekatan
system
Pendekatan system pertama kali diperkenalkan
oleh David Easton, yang melakukan analogi dengan system biologi. Pada dasarnya
system biologi merupakan proses interaksi antara mahkluk hidup dengan
lingkungannya, yang akhirnya menciptakan kelangsungan dan perubahan hidup yang
relatife stabil. Dari terminology ini Easton menganalogikannya dengan kehidupan
system politik.
Terdapat 3 komponen di dalam pendekatan
system, yaitu : input; proses; output.
Tuntutan – tuntutan individu maupun kelopok masyarakat, dukungan – dukungan,
dan juga sumberdaya merupakan input yang nantinya akan mempengaruhi proses
pengalokasian nilai – nilai oleh pihak penguasa. Pada tingkat selanjutnya
system politik akan menyerap berbagai macam tuntutan dari masyarakat tersebut
untuk dikonversikan menjadi keluaran – keluaran yang berupa keputusan –
keputusan atau kebijakan – kebijakan. Proses tidak berakhir disini, karena
setiap hasil keputusan yang merupakan keluaran system politik akan mempengaruhi
lingkungan. Perubahan lingkungan inilah yang nantinya akan mempengaruhi
tuntutan – tuntutan yang muncul dari masyarakat.
Salah satu kelemahan dari pendekatan ini
adalah terpusatnya perhatian pada tindakan – tindakan yang dilakukan oleh
pemerintah. Seringkali terjadi bahwa apa yang diputuskan pemerintah memberikan
kesan telah dilakukannya suatu tindakan, yang sebenarnya hanya untuk memelihara
ketenangan system yang ada dari pada sebagai alat pemecahan masalah masyarakat.
Pada akhirnya kita kehilangan perhatian terhadap apa yang tidak pernah
dilakukan oleh pemerintah.
2.
Model
– model dalam proses pembuatan public policy
Ada
beberapa model yang dapat dipergunakan untuk menjelaskan seluk beluk proses
pembuatan public policy, diantaranya :
a.
Model
elite
Model ini merupakan abstraksi dari suatau
proses pembuatan kebijakan dimana kebijakan public boleh dikatakan identik
dengan perspeksi elite politik. Dalam model ini kehidupan social terlihat
terdiri atas dua lapisan, yakni lapisan atas dengan jumlah yang sangat kecil
yang selalu mengatur, dan lapisan bawah dengan jumlah yang sangat besar sebagai
yang diatur. Karena itu kebijakan negara mencerminkan kehendak atau nilai –
nilai sekelompok kecil orang yang berkuasa.
Isu – isu kebijakan yang akan masuk dalam
agenda perumusan merupakan kesepakatan dan juga hasil konflik yang terjadi
diantara elite politk itu sendiri. Sementara itu, konflik diantara elite
politik sendiri tidaklah mencerminkan suatu kelompok masyarakat yang
diwakilinya. Masyarakat yang menjadi kelompok sasaran dari berbagai kebijakan
negara tidak memiliki kekuatan untuk mempengaruhi dan menciptakan opini tentang
isu kebijakan yang seharusnya menjadi agenda politik di tingkat atas. Sementara
itu, para pejabat pemerintah yang terdiri atas birokrat atau administrator
hanya menjadi mediator bagi jalannya informasi yang mengalir dari atas (pembuat
kebijakan) kebawah (masyarakat).
Karena pada dasarnya elite politik ingin
mempertahankan status quo maka kebijakannya menjadi bersifat konservatif,
sehingga dalam kehidupan politik tidak terjadi kejuta – kejutan yang
memungkinkan munculnya ketidaksepakatan masyarakat terhadap kebijakan yang
muncul. Kalaupun terjadi perubahan – perubahan kebjakan maka sifatnya incremental (tambal – sulam), maupun trial – error , yang hanya mengubah
atau memperbaiki kebijakan – kebijakan sebelumnya.
Kebijakan – kebijakan yang dibuat oleh elite
politik tidaklah berarti selalu tidak mementingkan kesejahteraan masyarakat.
Dalam derajat tertentu mereka tetap membutuhkan dukungan massa, sehingga mereka
harus juga memuaskan sebagian kepentingan massa tersebut. Namun demikian,
tanggung jawab untuk menyejahterakan masyarakat dianggap terletak di tangan
kelompok elite, bukannya ditangan masyarakat sendiri. Nilai – nilai, sikap dan
pandangan elite sudah barang tentu sangat mempengaruhi kebijakan yang
dihasilkan. Partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan public maupaun
implementasinya, dengan demikian, terasa terabaikan.
b.
Model
kelompok
Model ini merupakan abstraksi dari proses
pembuatan kebijakan yang didalamnya beberapa kelompok kepentingan berusaha
untuk mempengaruhi isi dan bentuk kebijakan secara interaktif. Dengan demikian
pembutana kebijakan terlihat sebagai upaya untuk menanggapi tuntutan dari
berbagai kelompok kepentingan dengan cara bargaining,
negosiasi, dan kompromi. Tuntutan – tuntutan yang saling bersaing diantara
kelompok – kelompok yang berpengaruh dikelola dengan cara ini.
Sebagai hasil persaingan antara berbagai
kelompok kepentingan, kebijakan negara pada hakikatnya adalah keseimbangan yang
tercapai dalam pertarungan antar kelompok dalam memperjuangkan kepentingan
masing – masing pada suatu waktu. Agar supaya pertarungan ini tidak bersifat
merusak, maka system politik berkewajiban untuk mengarahkan konflik kelompok.
Cara yang bisa ditempuh adalah :
1)
Menetapkan
aturan main bagi kelompok – kelompok yang memperjuangkan kepentingan mereka
2)
Mengatur
kompromi dan menyeimbangkan kepentingan – kepentingan
3)
Menuangkan
kompromi – kompromi tersebut sebagai kebijakan public
4)
Melaksanakan
apa yang telah dikompromikan tersebut.
Tokoh atau aktivis partai – patai poltik,
kelompok mahasiswa, kelompok profesi, birokrasi dan kelompok social
lain,merupakan actor – actor yang masing – masingmewakili
kepentingankelompoknya (maupan, seringkali, kepentingan pribadinya) yang harus
mereka perjuangkan. Apakah tuntuan masyarakat untuk memperoleh pelaanan
perumahan yang murah, misalnya, akan terpenuhi atau tidak tergantung pada
bagaimana tuntutan tersebut juga bisa diterma oleh berbagai kelompok kepentingan
lain yang ada. Keputusan yang diambil melibatkan kepentingan dari kelompok
kontraktor, banker yang memberikan fasilitas kedit, dan jbirokrasi yang
menangani masalah tersebut. Tiap – tiap actor yang terlibat pada masalah
tersebut tidak ingin dirugikan. Betapapun masing – masing telah sepakat untuk
memberian pelayanan perumahan yang murah, kemauan ini tidak berarti menjadikan
mereka mau mengobankan kepentingan masing – masing. Kelompok banker, misanya,
betapapun mau memberikan kredit murah, sebagai perusahaan tetap punya keonginan
untuk memperoleh keuntungan.
Model kelompok dapat dipergunakan untuk
menganalisis proses pembuatan kebijakan maupun implementasinya. Dalam proses
pembuatan kebijakan negara, model ini data dipergunakan untuk menelaah kelompok
– kelompok apakah yang saling berkompetisi untuk saling mempengaruhi pembuatan
kebijakan negara dan siapa yang memiliki pengaryuh paling kuat terhadap
keputusan yang dibuat. Pa tingkat implementasi, kompetisi antar kelompok juga
merupakan salah satuktor yang menentukan efektivitas kebijakan dalam mencapai
tujuan.
c.
Model
rasional
Model ini berasal dari pemikiran Herbert
simon tentang perilaku administrasi. Simon menekankan bahwa inti dari suatu
perilaku administrasi adalah pada proses pegambilan keputusan secara rasional.
Karena itu suatu kebijakan negara haruslah didasarkan pada keputusan yang sudah
diperhitungkan rasionalitasnya. Rasionalitas yang diambil adalah pembandingan
antara pengorbanan dan semakin tinggi tingkat pencapaiannya maka suatu kebijakan
dianggap baik. Dengan kata lain model ini lebih menekankan pada aspek efisiensi
maupun ekonomis.
Karena itu untuk dapat memperoleh
rasionalitas yang tepat maka para pembuat kebijakan harus mengetahui berbagai
hal berikut :
(1)
Preferensi
nilai – nilai masyarakat dan kecenderungannya
(2)
Pilihan
– pilihan atau alternative – alternative kebijakan yang tersedia
(3)
Konsekuensi
– konsekuensi dari setiap pilihan kebijakan
(4)
Rasio
yang dicapai bagi setiap nilai social yang dikorbankan pada setiap alternative
kebijakan
(5)
Memilih
alternative kebijakan yang paling efisien.
Dengan
demikian, pendekatan ini mengabaikan asal – usul kebijakan tersebut. Sepanjang
kebijakan yang ditempuh akan memberikan suatu hasil yang baik dengan sumberdaya
yang paling sedikit, maka kebijakan tersebut layak untuk dilaksanakan.
d.
Model
inkrementel
Model ini pada dasarnya merupakan kritik
terhadap medel rasional. Kritik tersebut pertama kali dilontarkan oleh Charles
Lindblomyang mengatakan bahwa para pembuat kebijakan pada dasarnya tidak mau
melakukan peninjauan secara ajeg terhadap seluruh kebiakan yang dibuatnya. Para
pembuat kebijakan tidak pernah melakukan proses seperti yang dipersyaratkan
oleh pendekatan rasional.
Ada beberapa alasan mengapa pendekatan
incremental dilakukan :
(1)
Para
pembuat kebijakan tidak memiliki waktu, intelektualitas maupun biaya yang
memadai untuk penelitian terhadap nilai – nilai social masyarakat yang
merupakan landasan bagi perumusan tujuan kebijakan
(2)
Adanya
kekhawatiran tentang bakal munculnya dampak yang tak diinginkan sebagai akibat
dari kebijakan yang belum pernah dibuat sebelumnya
(3)
Adanya
hasil – hasil program dari kebijakan sebelumnya yang harus dipertahankan demi
suatu kepentingan
(4)
Menghindari
adanya berbagai konflik jika harus melakukan proses negosiasi yang melelahkan bagi
kebijakan baru.
Dalam
berbagai instansi pemerintahan mudah dijumpai berbagai konservatifnya program –
program yang dihasilkan. Kecenderungan yang muncul adalah pengulangan terhadap
program sebelumnya dengan hanya sedikit perubahan di sana sini. Alasan yang
mudah diberikan oleh para administrator tersebut adalah bahwa kebijakan yang
baru selalu tersingkir karena para penentu kebijakan masih meragukan manfaat
maupun efektivitas dari program baru yang diusulkan. Program – program yang
sudah berjalan bertahun – tahun mudah disetujui karena pengalaman keberhasilannya
sudah pernah dibuktikan.
Kelemahan
yang akan muncul dari pendekatan ini adalah manakala arus perubahan masyarakat
begitu cepat sehingga pemerintah harus menanggapi perubahan tersebut. Dalam situasi
perubahan tersebut kebijakan yang bersifat incremental tidak lagi memadai untuk
menyelesaikan persoalan – persoalan kemasyarakatan yang muncul. Pada masyarakat
yang sedang mengalami tuntutan – tuntutan baru, pada awal munculnya orde baru
misalnya, kebijakan yang harus ditempuh memerlukan kebijakan revolusioner.
Kebijakan yang memperbolehkan masuknya modal asing, dan menhapus kebijakan yang
melarangnya, merupakan salah satu contoh bahwa pendekatan incremental tidak
memadai untuk memecahkan suatu masalah yang benar – benar baru dan strategis.
D. Proses pengambilan
suatu kebijakan
1.
Nilai – nilai yang mempengaruhi sikap dan perilaku actor
Nilai – nilai yang mempengaruhi perilaku atau
sikap seorang actor kebijakan adalah :
a.
Nilai
– nilai politik
Yakni,
kepentingan kelompok, golongan atau partai tempat sang actor berafiliasi.
Seorang actor yang berafiliasi dengan PDI sudah barang tentu akan berbeda sikap
terhadap isu pedagang kaki lima dengan seorang actor yang berasal dari
birokrasi pemerintah. Nilai – nilai politik sangat mempengaruhi sikap dan
perilaku seorang actor yang berkarakter sebagai politikus.
b.
Nilai
– nilai organisasi
Yakni
nilai untuk mempertahankan organisasi, memperluas program dan aktivitas
organisasi. Nilai ini biasanya sangat dominan pada actor yang berkarakter atau
berposisi sebagai birokrat. Mereka bisa mengajukan rancangan kebijakan yang
dapat memekarkan organisasinya, dengan kadang – kadang berlindung dibalik
“kepentingan umum”.
c. Nilai – nilai pribadi
Yakni
nilai pada seseorang yang terbentuk karena sejarah kehidupan pribadinya.
Seorang birokrat yang berasal dari keluarga kaya akan memandang isu
kriminalitas secara berbeda dengan birokrat yang memiliki masa lalu sebagai
orang miskin yang harus bersusah payah mempertahankan hidupnya.
d. Nilai kebijakan
Termasuk dalam kategori nilai ini adalah nilai moral,
keadilan, kemerdekaan, kebebasan, kebersamaan, dll.
e. Nilai ideologis
ideology adalah seperangkat nilai yang bersambungan
secara logis membentuk gambar sederhana tentang dunia, dan menuntun
tindakannya. Seorang actor yang memegang “ideology” religious akan memandang
isu SDSB secara berbeda dengan actor yang memegang ideology rasional maupun
profane.
2. pengagendaan dan perancangan kebijakan
Masalah – maslah yang telah
diartikulasikan oleh sekelompok masyarakat maupun para actor, dalam posisinya
sebagai wakil masyarakat atau atas nama “nya sendiri”, siap untuk dibahas
(didiskusikan, diproses, dikonversikan) oleh para actor yang berwenang
mengelola masalah termaksud. Tetapi, dalam suatu system, sudah barang tentu
para actor yang berwenang itu tidak berproses secara steril atau bebas dari
pengaruh actor – actor lain diluar mereka. Actor yang potensial terlibat dalam
pengagendaan kebijakan ini adalah semua anggota system.
Dalam
tahap pengagendaan inilah pembiasaan masalah yang diartikulasikan dapat
terjadi. Beberapa kemungkinan pembiasaan adalah : masalah dan tuntutan pada
umumnya tidak dimasukkan dalam pembahasan kebijakan, “dicegat” atau “dibunuh”
sebelum mencapai arena pembahasaan kebijakan, dan diubah sedemikian rupa oleh
actor – actor yang terlibat dalam pengagendaan. Konflik antaraktor kebijakan
kiranya mewujud didalam tahap pengagendaanini.
Pengagendaan menghasilkan
suatu rencana pembahasan kebijakan, dalam arti prioritas masalah atau tuntutan
mana yang perlu segera dibuatkan kebijakan. Dari sisi ini, pengagendaan
terlihat sebagai bentuk awal dari manajemen konflik. Yaitu : membahas dan
mengorganisasi isu atau masalah X untuk memuaskan tuntutan kelompok A, atau membuang
isu Y dan menekan tuntutan kelompok B.
Berdasarkan prioritas itulah
pembahasan masalah kebijakan dilakukan. Satu persatu masalah yang diajukan oleh
para actor dibahas, dan akhirnya untuk setiap “masalah” kebijakan tersebut
tercipta sebuah rencana kebijakan. Actor yang terlibat dalam perencanaan ini
kiranya tidak berbeda dengan actor yang terlibat dalam pengagendaan kebijakan,
secara langsung maupun tidak langsung.
3.
Penetapan kebijakan
Setelah
semua tuntutan dari berbagai actor diterima oleh mekanisme konversi, pertama –
tama melalui pengagendaan dan perancangan kebijakan, sebuah kebijakan siap
untuk ditetapkan.
Apa yang dilakukan dalam
penetapan kebijakan ini tidak lain adalah pemilihan alternative rancangan
kebijakan mana (siapa) yang diterima oleh para actor yang terlibat dalam
koversi dan ditetapkan untuk menjadi output kebijakan. Kemungkinan yang melekat
didalam setiap alternative rancangan kebijakan adalah : diterima atau dimenangkan,
ditolak sepenuhnya, dan diterima dengan perubahan. Proses pemilihan – yang
berarti juga pembuangan – alternative rancangan kebijakan, ini memanifestasikan
kembali konflik kepentingan yang pernah muncul.
Dalam penjelasan tersebut
diatas proses pembuatan kebijakan terlihat sebagai konflik kepentingan, yang
sebagaimana dikatakan didepan dapat diselesaikan dengan cara konsnsus atau
bargaining. Dengan cara consensus ini perbedaan kepentingan antar actor dapat “dikurangi”
atau dipersempit. Tetapi, dipihak lain bargaining atau consensus menjadikan
kebijakan yang ditetapkan seringkali bersifat formalitas belaka.
Menurut Anderson, pemilihan
rancangan kebijakan, dipengaruhi oleh hal – hal berikut ini, :
a)
Nilai
– nilai
b)
Keterikatan
partai
c)
Kepentingan
para pemilih
d)
Opini
public
e)
Pembelaan
diri
f)
Peraturan
kebijakan.
E.
Hubungan kebijakan public dengan administrasi negara
Kebijakan public adalah keputusan – keputusan
yang mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau bersifat garis
besar yang dibuat oleh pemegang otoritas public. Sebagai keputusan yang
mengikat public maka kebijakan public haruslah dibuat oleh otoritas politik,
yakni mereka yang menerima mandate dari public atau orang banyak , umumnya
melalui suatu proses pemilihanuntuk bertindak atas nama rakyat banyak.
Selanjutnya, kebijakan public akan
dilaksanakan oleh administrasi negara yang dijalankan oleh birokrasi
pemerintah. Focus utama kebijakan public dalamnegara modern adalah pelayanan
public, yang merupakan segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang
maupun jasapublik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan
oleh negara untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas kehidupan orang
banyak.
Dalam pelaksanaanya, kebijakan public ini
harus diturunkan dalam serangkaian petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisyang
berlaku internal dalam birokrasi. Sedangkan dari sisi masyarakat, yang penting
adalah adanya suatu standar pelayanan public, yang menjabarkan pada masyarakat
apa pelayanan yang menjadi haknya, siapa yang bisa mendapatkannya, apa
persyaratannya, juga bagaimana bentuk layanan itu.
Untuk mewujudkan keinginan tersebut dan
menjadikan kebijakan tersebut efektif, maka diperlukan sedikitnya 3 hal :
a)
Adanya
perangkat hukum berupa peraturan perundang – undangan sehingga dapat diketahui
public apa yang telah diputuskan;
b)
Kebijakan
ini harus jelas terstruktur pelaksanaan dan pembiayaanya; dan
c)
Adanya
control public, yakni mekanisme yang memungkinkan public mengetahui apakah
kebijakan ini dalam pelaksanaannya mengalami penyimpangan atau tidak.
BAB
3.
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Kebijakan
public dan administrasi negara memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan
satu dengan yang lainnya.
Kebijakan public atau public policy merupakan
salah satu bidang kajian yang menjadi pokok perhatian administrasi negara.. Bidang kajian ini amat
penting bagi administrasi negara, karena selain ia menentukan arah umum yang
harus ditempuh untuk mengatasi isu-isu masyarakat, iapun dapat dipergunakan untuk
menentukan ruang lingkup permasalahan yang dihadapi oleh pemerintahan. Selain
itu dapat pula dipergunakan untuk mengetahui betapa luas dan besarnya
organisasi pemerintahan itu.
DAFTAR PUSTAKA
Thoha, Miftah,
Dimensi – Dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara, citra niaga Rajawali pers, Jakarta, Cet. 5, 1993.
Wibawa, Samodra,
Kebijakan Publik : Proses dan Analisis, Intermedia, Jakarta, 1994.
Henry, Nicholas, (1988). Public
Administration and Public Affairs. Diterjemahkan
oleh Luciana D. Lontoh. Administrasi
Negara dan Masalah-masalah Kenegaraan. Penerbit
Rajawali Jakarta.
Syafiie,
Inu Kencana, (2003). Sistem Administrasi Negara RI. Penerbit Bumi
Aksara
Bandung.
terbaiklah
BalasHapus